Anak Nakal vs Ridho Orangtua

3 komentar

Minggu pagi itu Andi duduk terpekur di depan mainannya. Tangannya memajumundurkan mobil lego yang paling disukai. Namun, matanya tampak tidak fokus ke mainan. Dia seakan tidak berada di situ. Jika biasanya ia berceloteh seakan sedang piknik ke suatu kota. Bermain pura-pura, seperti saat diajak berlibur ke waterboom favoritnya di Jepara. Pagi ini, Andi lebih diam dari biasanya.










Hasna, sang ibu sesekali menengok Andi yang sedang bermain. Ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Menu hari ini masih menunggu. Wortel yang baru terpotong separuh belum bisa diteruskan. Rita, anak batitanya baru saja berhenti menangis karena kakinya terluka oleh pecahan beling. Setelah dibujuk 30 menit, ia terlelap. Ia masih harus membersihkan “kekacauan” yang dibuat Andi pagi itu. Entah apa yang membuat anak laki-laki berusia 5 tahun itu tiba-tiba ingin membuat kopi dan susu untuk keluarga. Bisa apa dia? Pikir Hasna. Ada-ada saja. Malah menyusahkan. Ada saja kerepotan yang diperbuatnya. Tiada hari tanpa dibuat jengkel, karena ada saja yang dilakukan Andi. Mulai dari bangun tidur sampai akan tidur lagi. Tak jarang Andi membuat mereka terharu, karena tiba-tiba menyiram tanaman tanpa diminta. Tapi ia juga pernah membuat ayahnya murka Karena Andi menyiram tambulampot sawo dengan susu jatah paginya. Alasannya, agar sawo cepat berbuah.





Ibu, pernahkah peristiwa seperti ini terjadi di rumah? Anak kecil kita tiba-tiba ingin membuat minuman namun malah mengotori dapur. Susu dan gula tumpah ke mana-mana. Atau malah seperti Andi yang pagi itu ingin membuat kopi. Saat mengisi air panas, tangannya terkena dan gelas kopi lepas. Beling gelas beserta isinya berantakan di lantai, mengenai kaki si anak. Masih terkaget oleh suara gelas pecah dan teriakan mengaduh Andi, tiba-tiba Rita, adiknya, menangis kejer karena kakinya terkena beling. Kekagetan Hasna berubah menjadi reaksi murka. 5 tahun dan bikin kopi? INI PASTI MENIRU SI AYAH! Lalu, suami yang masih asyik mencuci kendaraan di depan rumah juga ikut disalahkan. Lebih parahnya lagi, sudah lama kedua orangtua Andi melabelinya sebagai ANAK NAKAL.







Jika saja Hasna tidak bereaksi buruk dan mau bertanya, mungkin ia akan sangat terharu. Pagi itu, Andi ingin membantu ibunya membuatkan kopi untuk ayah. Ia juga sudah membuat susu hangat untuk dirinya dan Rita. Ia ingin membantu ibunya, namun baru tahu jika air dispenser yang biasa dipakai ayah ibu membuat kopi ternyata sangat panas. Namun keinginannya itu malah membuat ayah ibunya sangat murka, dan lebih buruk lagi, Rita terluka.



Dalam kehidupan sehari-hari, orangtua sering disibukkan dengan pekerjaan harian yang terasa berputar, tak pernah habis. Tak jarang orangtua merasa terjebak dengan kewajibannya. Ia tidak bangga menjadi orangtua. Maka, tanpa sadar, ia mengkerdilkan potensi anaknya dengan bereaksi spontan seperti Hasna di atas.





Tak ada yang mudah dengan peran menjadi orangtua. Namun bukanlah hal yang sulit juga jika dilakukan dengan ikhlas. Siklus di atas merupakan siklus yang dibuat oleh Ibu Septi Peni Wulandani bersama suami, saat mereka membicarakan tentang fenomena kids zaman now yang beberapa di antaranya memberi image negatif. Padahal, adakalanya, orangtua yang tak bisa memberitahu pada anak. Bukan anaknya yang salah, ia hanya belum tahu. Makanya, PR orangtua harus memberitahu tanpa rasa bosan dan jenuh.





Bekal utama menjadi orangtua dalam mendidik anak 'nakal' sebenarnya tidak sebanyak yang dibayangkan. Ada 3 pedoman utama, yang bisa dipasang di mana saja dan kapan saja, yaitu:


  1. Menerima

  2. Memaafkan dan berdialog

  3. Melupakan kesalahan


Hanya tiga ini saja, tapi dahsyatnya luar biasa.


Mengkerdilkan potensi anak?





Setiap anak lahir membawa instalan karakter, potensi, bakat, dan minat yang unik. Mereka istimewa. Tiada satu pun ciptaan Allah yang cacat dan tiada berguna. Setiap daun yang jatuh memiliki takdirnya. Semua anak yang terlahir telah tercatat di lauh mahfud. Mana mungkin Allah menciptakan anak yang nakal? Lebih tepatnya, Allah menciptakan anak yang punya banyak akal. Label nakal yang kita berikan, biasanya karena harapan ibu/ayah kepada anak tidak sama dengan kenyataan. Saat usia yang sama, orangtua bisa melakukan A, si anak ternyata belum. Atau, di masa kecil, ia begitu sering disebut nakal sehingga lisannya akrab dengan kata ini. Saat mengatakan anak nakal, biasanya, anak malah semakin nakal. Mengapa?



  1. Kata adalah doa. Terutama kata yang terucap dari orangtua.

  2. Ekspektasi orangtua dan ucapannya berbeda. Contohnya anak sedang melompat-lompat di atas kursi sofa. Alih-alih menyatakan, “Duduk yang baik, sayang. Itu berbahaya,” orangtua mengatakan “Jangan nakal! Nanti kamu jatuh!”
    Jadi, lebih baik ucapkan apa yang diinginkan, sehingga anak tahu.

  3. Tidak jelas definisi nakal. Apa pun yang dilakukan anak disebut nakal. Makanya, mereka akan mencari tahu, nakal itu apa dengan mencoba sesuatu untuk mengetahui reaksi orang di sekitarnya.



Fakta menunjukkan bahwa tak ada anak yang nakal. Yang ada adalah anak yang tidak tahu jalan mana yang harus dipilihnya, tidak tahu aturan mana yang harus dipatuhinya sehingga ia memilih caranya sendiri yang tidak tepat menurut nilai – nilai umum.

Related Posts

3 komentar

  1. Nice share mbak,btw headernya bagus, simple. Semangaaat....

    BalasHapus
  2. Saya sama suami berusaha ngerem kata-kata yang keluar buat anak walo kadang pernah keceplosan. Sebisa mungkin mengatakan hal-hal yang baik atau menahan amarah dengan cara diam lebih baik.

    BalasHapus
  3. Seperti kata suamiku (karena aku yang lebih banyak sama anak-anak) jangan bosan memberi tahu anak-anak terus-terusan, karena tidak tahu kata-kata kita yang mana yang bakal di dengar si anak.

    BalasHapus

Posting Komentar