Cerdas Tapi Tidak Naik Kelas. Mungkinkah?

Posting Komentar



Sabtu lalu, DnB terima rapor. Sama seperti jutaan anak sekolah lain di seluruh negeri. Kami ngeri-ngeri sedap dengan hasil belajar mereka berdua. Penurunannya lumayan sekali. Akhirnya kami memakai standar, "Yang penting nilainya di atas KKM". Alhamdulillah, dengan melihat Kriteria Ketuntasan Minimal, kami melihat nilai mereka dengan perasaan yang lebih positif. Memang di atas KKM semua.  Tiba-tiba saya kepikiran membuat posting tentang Anak Cerdas Tapi Tidak Naik Kelas agar orangtua tidak cemas dengan hasil belajar anak, dan lebih berperan aktif dalam proses belajar anak.










Adakalanya, kita perlu mempersiapkan diri agar tidak terlihat kecewa di depan anak. Tentu saja, kami tak memberitahu bahwa batasannya KKM. Woho... itu penurunan drastis. Itu hanya exit door agar bisa menerima hasil belajar anak dengan baik. Tentu saja otak langsung bekerja bagaimana solusi agar nantinya lebih baik. Juga menganalis apa saja yang membuat mereka mendapat nilai segitu.





Kami berpantang mencela hasil belajar anak karena yakin bahwa ada kekecewaan di hati mereka. Cukup gali saja agar anak menemukan rasa itu sehingga berjanji akan lebih baik lagi. Lagian, nilai di bawah KKM bukan berarti anak bodoh kok. Bisa jadi:





1. Anak belum siap belajar




2. Orangtua tidak berperan aktif ketika belajar di rumah




3. Guru kurang bisa membuat anak tertarik dengan ilmu yang disampaikan.





3 elemen ini memang harus bekerja sama agar hasil belajar anak lebih maksimal





Setiap anak cerdas. Saya yakin itu. Masing-masing kecerdasan memiliki bidang berbeda. Tak heran jika Gardner membagi menjadi 8 kecerdasan anak, dan kemudian ditambahkan 1 lagi kecerdasan yaitu kecerdasan spiritual.










Ayah bunda tentu hapal dengan 8 kecerdasan majemuk ala Howard Gardner:





1. Kecerdasan linguistik (word smart)




2. Kecerdasan logika-matematika (number smart)




3. Kecerdasan visual spasial (picture smart)




4. Kecerdasan kinestetik (body smart)




5. Kecerdasan interpersonal (people smart)




6. Kecerdasan intrapersonal (self smart)




7. Kecerdasan Naturalis (nature smart)




8. Kecerdasan musik (music smart)










Jika AyBund berhasil memetakan tipe kecerdasan anak, ia akan memiliki cetak biru potensi dan prestasi yang bisa digali. Coba kenali satu-satu melalui simulasi dan stimulasi. Keduanya mutlak diperlukan bagi perkembangan anak.


Simulasi adalah suatu proses peniruan dari sesuatu yang nyata beserta keadaan sekelilingnya (state of affairs).





Stimulasi adalah dorongan atau rangsangan, yang lebih lengkapnya berarti suatu kegiatan yang dilakukan untuk merangsang kemampuan dasar anak agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.





Nah, kami sadar sekali bahwa simulasi dan stimulasi kami belum maksimal. Jadi, kami, kedua orangtuanya, punya andil yang cukup besar pada turunnya prestasi hasil belajar DnB. Apalagi kami sadar sejak awal bahwa keduanya anak pandai tetapi kurang terasah kecerdasannya. Istilah kerennya gifted-learning disabled. Keadaan ini membuat mereka menjadi anak under achiever. Sedih, ya. Harus dibenahi bersama-sama nih.





Pada kenyataannya, di sekolah, hampir selalu ada anak yang tidak naik kelas karena satu atau berbagai sebab. Anak yang tinggal kelas ini tidak selalu memiliki IQ rendah. Beberapa anak ber-IQ tinggi juga bisa mengalaminya.





Pada tahun 1994, Kongres PGRI pernah merilis data mengejutkan Jumlah Anak yang Tinggal Kelas. Dari seluruh anak di Indonesia, setiap tahun ada 16,7% siswa kelas satu yang tinggal kelas. Meski sudah 23 tahun berlalu, dan prosentase berubah, namun tak menutup celah ‘bahaya’ yang bisa terjadi pada anak-anak di dekat kita. Karena, anak cerdas pun bisa tinggal kelas.


Bagaimana bisa begitu?










Dunia pedagog – pendidikan anak – mengenal istilah anak ‘underachiever’ atau anak yang tidak terpenuhi potensi kemampuannya. Catat dan di-bold, ya. Anak yang tidak terpenuhi potensi kemampuannya. Para ahli memberi sebutan lain yaitu gifted-learning disabled atau anak cerdas-berbakat berketidakmampuan belajar.





Di jurnal Learning disabilities, Brody dan Mils menyatakan, pada dasarnya anak memiliki kelebihan dan ketidakmampuan sehingga terjadi kesenjangan prestasi dan potensi. Sementara Conny menyatakan, prestasi dan kinerja anak jauh berada di bawah potensinya. Ibarat kendi air besar, diisi sedikit air. Anak kurang mendapat pengarahan sesuai kebutuhannya. Misalnya suka menulis tak ada yang mengarahkan, suka musik tak ada arahan dan atau fasilitas. Atau yang paling umum, orangtuanya tidak peduli dengan sekolah anak.





Jadi… jika anak tidak naik kelas, ada baiknya orangtua introspeksi diri, karena mungkin, telah abai dengan kebutuhan belajar anak.





Jadi... anak cerdas pun bisa tak naik kelas. Tak mau ini terjadi, kan, AyBund?





Yuk bersamai anak belajar!

Related Posts

Posting Komentar